Sumber:
www.wikipedia.com
Abu daudi, dalam pagar, Martapura
Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dinihari 15
Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak pertama dari keluarga
muslim yang taat beragama , yaitu Abdullah dan Siti Aminah.
Jalur Nasab
Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.
Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah
bin Tuan Penghulu Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah
bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin
Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh
keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin
Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.
Sejak masa
kecilnya Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang
membedakannya dengan kawan sebayanya. Dimana dia sangat patuh dan ta’zim
kepada kedua orang tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan
bersama teman-temannya. Allah SWT juga menganugrahkan kepadanya
kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di bidang lukis dan khat
(kaligrafi).
Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah)
mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, dan sampailah ke kampung Lok
Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan yang
indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa pelukisnya, maka
dijawab orang bahwa Muhammad Arsyad lah sang pelukis. Mengetahui
kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati sultan keinginan
untuk mengasuh dan mendidik Muh. Arsyad kecil di istana yang ketika itu
baru berusia ± 7 tahun.
Sultanpun mengutarakan goresan hatinya kepada kedua orang tua Muh.
Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istrinya merasa enggan melepas anaknya
yang tercinta. Tapi demi masa depan sang buah hati yang diharapkan
menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua, maka
diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muh. Arsyad dalam
membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta
keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana sayang dan
hormat kepadanya. Bahkan sultanpun memperlakukannya seperti anak kandung
sendiri.
Setelah dewasa beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang
solehah bernama tuan “BAJUT”, seorang perempuan yang ta’at lagi berbakti
pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup
bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah
semata. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di
hati Muh. Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah
suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri
tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang
masih muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang suami dan
mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari
sultan berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan
cita-citanya.Deraian air mata dan untaian do’a mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru dia adalah Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh.
Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri al-Jawi, dan Syekh Abdul Wahab Bugis sehingga mereka dikenal sebagai Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu).[10]
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah,
timbulah niat untuk menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan
dengan guru mereka, Syekh menyarankan agar keempat muridnya ini untuk
pulang ke Jawi (Indonesia) untuk berdakwah di negerinya masing-masing.
Menikahkan anak
Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat untuk berhaji kembali di
Tanah Suci Mekkah. Pada saat itu tanpa disangka-sangka Syekh Muhammad
Arsyad bertemu dengan adik kandung dia yaitu Zainal Abidin bin Abdullah yang sedang menunaikan ibadah haji. Sang adik membawa kabar berita bahwa anak dia yaitu Fatimah
sudah beranjak dewasa dan sang anak menitipkan cincin kepada dia.
Melihat hal demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing-masing
mengajukan lamaran untuk memperisteri anak dia. Setelah berpikir lama,
Syekh Muhammad Arsyad memeutuskan untuk mengundi, lamaran yang akan
diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran Syekh Abdul Wahab Bugis yang diterima.
Untuk itu diadakahnlah ijab kabul pernikahan antara Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah binti Syekh Muhammad Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad sambil disaksikan dua sahabat lainnya.
Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman.
Memasuki wilayah Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera yaitu
di Palembang, kampung halaman Syekh Abdussamad Al Falimbani. Kemudian
perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, yaitu kampung halaman Syekh
Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad diminta
menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dengan masyarakat Betawi.
Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syekh
Muhammad Arsyad membetulkan arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid
Luar Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa tersebut,
masyarakat sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam
aksara arab melayu (tulisan jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid
ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad
Al-Banjari pada tanggal 4 Safar 1186 H.
Seelah dirasa cukup, maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab
Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.
Pada Bulan Ramadhan 1186 H
bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya Martapura
pusat Kerajaan Banjar pada masa itu. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidulla II menyambut kedatangan beliau dengan
upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai
seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari
seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci
dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan,
sultanpun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang
‘alim lagi wara’.
Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muh. Arsyad mempunyai beberapa
metode, di mana antara satu dengan yang lain saling menunjang. Adapun
metode-metode tersebut, yaitu:
- Bil-hal
Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur-kata sehari-hari dan disaksikan secara langsung oleh murid-murid beliau.
Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur-kata sehari-hari dan disaksikan secara langsung oleh murid-murid beliau.
- Bil-lisan
Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan.
Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan.
- Bil-kitabah
Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulis-menulis, sehingga lahirlah lewat ketajaman penanya kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Buah tangannya yang paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin Littafaqquh Fiddin, yang kemasyhurannya sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand selatan).
Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulis-menulis, sehingga lahirlah lewat ketajaman penanya kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Buah tangannya yang paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin Littafaqquh Fiddin, yang kemasyhurannya sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand selatan).
Karya-Karya
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari banyak membuat tulisan, baik
berupa lembaran maupun kitab dalam berbagai bidang ilmu seperti Tauhid, Fiqih,
Tasawuf dan lainnya. Di antara kitab-kitab yang ditulisnya adalah:
1.
Kitab Ushuluddin,
semacam Kitab Sifat Dua Puluh.
2.
Kitab Luqtatul
Ajlan, kitab yang menguraikan hukum-hukum mengenai masalah kewanitaan.
3.
Kitab Fara’idh, yang
menguraikan masalah pembagian harta warisan.
4.
Kitab Ilmu Falaq.
5.
Kitab an-Nikah, yang
menguraikan tentang hukum-hukum pernikahan.
6.
Kitab Kanzul
Ma’rifah, yang menguraikan tentang Ilmu Tasawuf atau Ilmu Hakikat Pengendalian
Diri dan Allah.
7.
Fatawa Sulaiman
Kurdi.
8.
Kitab Sabilal
Muhtadin, kitab ini sangat masyhur bahkan sampai ke luar negeri seperti
Malaysia, Brunei Darussalam, Fathani dan lainnya. Kitab ini berisi tentang
masalah Ilmu Fiqih, ditulis sekitar tahun 1192H atau 1777M.
9.
Kitab Tuhfatul
Raghibin, ditulis pada tahun 1188H atau 1774M dengan nama asli
“Tuhfaturraghibin fi Bayan Haqiqat al-Mu’minin wa ma Yufsidu min Riddatul
Murtadin”. Kitab ini telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia, berisi
tiga bab dan khatimah, berbicara penguraian masalah Aqidah, kepercayaan yang
haq dan bathil atau hakikat iman yang benar, serta hal-hal yang bisa merusak
iman. Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.
Maasya Allah
BalasHapus