oleh: Hizbuttahrir Indonesia
Nasab Beliau
Beliau
adalah Syaikh Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail
bin Yusuf An Nabhani, dinisbahkan kepada kabilah Bani Nabhan, yang
termasuk orang Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim
di daerah Ijzim yang termasuk wilayah Haifa di Palestina Utara.
Kelahiran dan Pertumbuhan Beliau
Syaikh
An Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Beliau mendapat
didikan ilmu dan agama di rumah dari ayah beliau sendiri, seorang syaikh
yang faqih fid din. Ayah beliau seorang pengajar ilmu-ilmu
syari’ah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibu beliau juga menguasai
beberapa cabang ilmu syari’ah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syaikh
Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Beliau ini adalah seorang qadly (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.
Mengenai Syaikh Yusuf An Nabhani ini, beberapa penulis biografi menyebutkan : “(Dia
adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad An Nabhani
Asy Syafi’i. Julukannya Abul Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi,
dan termasuk salah seorang qadly yang terkemuka. Dia menangani peradilan
(qadla’) di Qushbah Janin, yang termasuk wilayah Nablus. Kemudian beliau berpindah ke Konstantinopel (Istambul) dan diangkat sebagai qadly
untuk menangani peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Dia
kemudian menjabat sebagai ketua Mahkamah Jaza’ di Al Ladziqiyah,
kemudian di Al Quds. Selanjutnya dia menjabat sebagai ketua Mahkamah
Huquq di Beirut. Dia menulis banyak kitab yang jumlahnya mencapai 80
buah.”
Pertumbuhan
Syaikh Taqiyyuddin dalam suasana keagamaan yang kental seperti itu,
ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian dan
pandangan hidup beliau. Beliau telah hafal Al Qur’an seluruhnya dalam
usia yang amat muda, yaitu di bawah usia 13 tahun.Beliau
banyak mendapat pengaruh dari kakek beliau, Syaikh Yusuf An Nabhani,
dan menimba ilmu beliau yang luas. Syaikh Taqiyyuddin juga sudah mulai
mengerti masalah-masalah politik yang penting, di mana kakek beliau
mengalami langsung peristiwa-peristiwanya karena mempunyai hubungan erat
dengan para penguasa Daulah Utsmaniyah saat itu. Beliau
banyak menarik pelajaran dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fiqih
yang diselenggarakan oleh kakek beliau, Syaikh Yusuf An Nabhani.
Kecerdasan dan kecerdikan Syaikh Taqiyyuddin yang nampak saat mengikuti
majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya.
Oleh
karenanya, kakek beliau begitu memperhatikan Syaikh Taqiyyuddin dan
berusaha meyakinkan ayah beliau –Syaikh Ibrahim bin Musthafa– mengenai
perlunya mengirim Syaikh Taqiyyuddin ke Al Azhar untuk melanjutkan
pendidikan beliau dalam ilmu syari’ah.
Ilmu dan Pendidikan Beliau
Syaikh
Taqiyyuddin menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syari’ah dari ayah dan
kakek beliau, yang telah mengajarkan hafalan Al Qur’an sehingga beliau
hafal Al Qur’an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga
mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika beliau
bersekolah di sekolah dasar di daerah Ijzim.
Kemudian
beliau berpindah ke sebuah sekolah di Akka untuk melanjutkan
pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum beliau menamatkan sekolahnya
di Akka, beliau telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya
di Al Azhar, guna mewujudkan dorongan kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani.
Syaikh
Taqiyyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar
pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan
predikat sangat memuaskan. Lalu beliau melanjutkan studinya di Kulliyah
Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu
beliau banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiyah di Al Azhar yang
diikuti oleh syaikh-syaikh Al Azhar, semisal Syaikh Muhammad Al Hidlir
Husain –rahimahullah– seperti yang pernah disarankan oleh kakek beliau.
Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran lama Al Azhar
membolehkannya.
Meskipun
Syaikh Taqiyyuddin menghimpun sistem Al Azhar lama dengan Darul Ulum,
akan tetapi beliau tetap menampakkan keunggulan dan keistimewaan dalam
kesungguhan dan ketekunan belajar.
Syaikh
Taqiyyuddin telah menarik perhatian kawan-kawan dan dosen-dosennya
karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya pendapat seta hujjah
yang beliau lontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi
fikriyah, yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang ada saat
itu di Kairo dan di negeri-negeri Islam lainnya. Syaikh Taqiyyuddin An
Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun
yang sama beliau menamatkan pula kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif
menurut sistem lama, di mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa
syaikh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa
Arab, dan ilmu-ilmu syari’ah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir,
tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.
Dalam
forum-forum halaqah ilmiyah tersebut, An Nabhani dikenal oleh
kawan-kawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan Al Azhar,
sebagai sosok dengan pemikiran yang genial, pendapat yang kokoh,
pemahaman dan pemikiran yang mendalam, serta berkemampuan tinggi untuk
meyakinkan orang dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi
fikriyah. Demikian juga beliau sangatlah bersungguh-sungguh, tekun, dan
bersemangat dalam memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar.
Bidang-bidang Aktivitas Beliau
Setelah
menyelesaikan pendidikannya, Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani kembali ke
Palestina untuk kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina
sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haifa. Di
samping itu beliau juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah di Haifa.
Beliau
sering berpindah-pindah lebih dari satu kota dan sekolah semenjak tahun
1932 sampai tahun 1938, ketika beliau mengajukan permohonan untuk
bekerja di Mahkamah Syari’ah. Beliau ternyata lebih mengutamakan bekerja
di bidang peradilan (qadla’) karena beliau menyaksikan
pengaruh imperialis Barat dalam bidang pendidikan, yang ternyata lebih
besar daripada bidang peradilan, terutama peradilan syar’iy. Dalam
kaitan ini beliau berkata :
“Adapun
golongan terpelajar, maka para penjajah di sekolah-sekolah missionaris
mereka sebelum adanya pendudukan, dan di seluruh sekolah setelah
pendudukan, telah menetapkan sendiri kurikulum-kurikulum pendidikan dan
tsaqafah berdasar filsafat, hadlarah (peradaban) dan pemahaman
kehidupan mereka yang khas. Kemudian tokoh-tokoh Barat dijadikan sumber
tsaqafah (kebudayaan) sebagaimana sejarah dan kebangkitan Barat
dijadikan sumber asal bagi apa yang mengacaukan cara berpikir kita.”
Oleh
karenanya, Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani lalu menjauhi bidang
pengajaran dalam Kementerian Pendidikan, dan mulai mencari pekerjaan
lain dengan pengaruh peradaban Barat yang relatif lebih sedikit. Beliau
tak mendapatkan pekerjaan yang lebih afdol selain pekerjaan di Mahkamah
Syar’iyah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan
hukum-hukum syara’. Dalam hal ini beliau berkata,
“Adapun An Nizhamul Ijtima’iy, yang mengatur hubungan pria dan wanita, dan segala hal yang merupakan konsekuensinya (yakni Al Ahwalu Asy Syakhshiyyah),
tetap menerapkan syari’at Islam sampai sekarang, meskipun telah
berlangsung penjajahan dan penerapan hukum-hukum kufur. Tidak diterapkan
sama sekali selain Syari’at Islam di bidang itu sampai saat ini…”
Maka
dari itu, Syaikh Taqiyyuddin sangat berkeinginan untuk bekerja di
Mahkamah Syar’iyah. Dan ternyata banyak kawan beliau –yang pernah
sama-sama belajar di Al Azhar– bekerja di sana. Dengan bantuan mereka,
Syaikh Taqiyyuddin akhirnya dapat diangkat sebagai sekretaris di
Mahkamah Syar’iyah Beisan, lalu dipindah ke Thabriya.
Namun
demikian, karena beliau mempunyai cita-cita dan pengetahuan dalam
masalah peradilan, maka beliau terdorong untuk mengajukan permohonan
kepada Al Majelis Al Islamy Al A’la, agar mengabulkan permohonannya
untuk mendapatkan hak menangani peradilan. Dalam hal ini beliau
menganggap bahwa dirinya mempunyai kecakapan untuk menangani masalah
peradilan.
Setelah
para pejabat peradilan menerima permohonannya, mereka lalu membeliau ke
Haifa dengan tsebagai Kepala Sekretaris (Basy Katib) di Mahkamah
Syar’iyah Haifa. Kemudian pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai Musyawir
(Asisten Qadly) dan beliau terus memegang kedudukan ini hingga tahun
1945, yakni saat beliau dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadly
di Mahkamah Ramallah sampai tahun 1948. Setelah itu, beliau keluar dari
Ramallah menuju Syam sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan
Yahudi.
Pada
tahun 1948 itu pula, sahabatnya Al Ustadz Anwar Al Khatib mengirim
surat kepada beliau, yang isinya meminta beliau agar kembali ke
Palestina untuk diangkat sebagai qadly di Mahkamah Syar’iyah Al
Quds. Syaikh Taqiyyuddin mengabulkan permintaan itu dan kemudian beliau
diangkat sebagai qadly di Mahkamah Syar’iyah Al Quds pada tahun 1948.
Kemudian,
oleh Kepala Mahkamah Syar’iyah dan Kepala Mahkamah Isti’naf saat itu
–yakni Al Ustadz Abdul Hamid As Sa’ih– beliau lalu diangkat sebagai
anggota Mahkamah Isti’naf, dan beliau tetap memegang kedudukan itu
sampai tahun 1950.
Pada
tahun 1950 inilah, beliau lalu mengajukan permohonan mengundurkan diri,
karena beliau mencalonan diri untuk menjadi anggota Majelis Niyabi (Majelis Perwakilan).
Pada
tahun 1951, Syaikh An Nabhani mendatangi kota Amman untuk menyampaikan
ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah
Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sampai awal tahun 1953,
ketika beliau mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang telah beliau rintis
antara tahun 1949 hingga 1953.
Aktivitas Politik Beliau
Sejak
remaja Syaikh An Nabhani sudah memulai aktivitas politiknya karena
pengaruh kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani, yang pernah terlibat
diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh peradaban Barat,
seperti Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan, tokoh-tokoh
Freemasonry, dan pihak-pihak lain yang merongrong dan membangkang
terhadap Daulah Utsmaniyah.
Perdebatan-perdebatan
politik dan aktivitas geraknya di antara para mahasiswa di Al Azhar dan
di Kulliyah Darul Ulum, telah menyingkapkan pula kepeduliannya akan
masalah-masalah politik.
Beberapa
sahabatnya telah menceritakan sikap-sikapnya yang menggaungkan
seruan-seruan yang bersifat menantang, yang mampu memimpin situasi Al
Azhar saat itu. Di samping itu, beliau juga melakukan berbagai
perdebatan dengan para ulama Al Azhar mengenai apa yang harus dilakukan
dengan serius untuk membangkitkan umat Islam.
Sebenarnya
ketika Syaikh An Nabhani kembali dari Kairo ke Palestina dan ketika
beliau menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina, beliau
sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian, yakni memberikan
kesadaran kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang
ditemuinya, mengenai situasi yang ada saat itu. Beliau juga
membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam
jiwa mereka, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang
teguh terhadap Islam. Beliau menyampaikan semua ini melalui
khutbah-khutbah, dialog-dialog, dan perdebatan-perdebatan yang beliau
lakukan. Pada setiap topik yang beliau sodorkan, hujjah beliau
senantiasa kuat. Beliau memang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk
meyakinkan orang lain.
Ketika
beliau pindah pekerjaan ke bidang peradilan, beliau pun lalu mengadakan
kontak dengan para ulama yang beliau kenal dan beliau temui di Mesir.
Kepada mereka beliau mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai
politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum muslimin dan
mengembalikan kemuliaan dan kejayaan mereka.
Untuk
tujuan ini pula, beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di
Palestina dan mengajukan ide yang sudah mendarah daging dalam jiwa
beliau itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik dari kalangan ulama maupun
para pemikir. Kedudukan beliau di Mahkamah Isti’naf di Al Quds sangat
membantu aktivitas beliau tersebut.
Dengan
demikian, beliau dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan
mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestina. Dalam
kesempatan itu, beliau mengadakan dialog dengan mereka mengenai metode
kebangkitan yang benar. Beliau banyak berdebat dengan para pendiri
organisasi-organisasi sosial Islam (Jam’iyat Islamiyah) dan
partai-partai politik yang bercorak nasionalis dan patriotis. Beliau
menjelaskan kekeliruan langkah mereka, kesalahan pemikiran mereka, dan
rusaknya kegiatan mereka.
Selain
itu, beliau juga sering melontarkan berbagai masalah politik dalam
khutbah-khutbah yang beliau sampaikan pada acara-acara keagamaan di
masjid-masjid, seperti di Al Masjidil Aqsha, masjid Al Ibrahim Al Khalil
(Hebron), dan lain-lain.
Dalam
kesempatan seperti itu beliau selalu menyerang sistem-sistem
pemerintahan di negeri-negeri Arab, dengan menyatakan bahwa semua itu
merupakan rekayasa penjajah Barat, dan merupakan salah satu sarana
penjajah Barat agar dapat terus mencengkeram negeri-negeri Islam. Beliau
juga sering membongkar strategi-strategi politik negara-negara Barat
dan membeberkan niat-niat mereka untuk menghancurkan Islam dan umatnya.
Selain itu, beliau berpandangan bahwa kaum muslimin berkewajiban untuk
mendirikan partai politik yang berasaskan Islam.
Semua
ini ternyata membuat murka Raja Abdullah bin Al Hussain, lalu
dipanggillah Syaikh An Nabhani untuk menghadap kepadanya, terutama
karena khutbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus.
Beliau
disuruh hadir di suatu majelis lalu ditanya oleh Raja Abdullah mengenai
apa yang menyebabkan beliau menyerang sistem-sistem pemerintahan di
negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Yordania. Namun Syaikh
Taqiyyuddin An Nabhani tidak menjawab pertanyaan itu, dan malah
berpura-pura tidak mendengar. Ini mengharuskan Raja Abdullah mengulangi
pertanyaannya tiga kali berturut-turut. Akan tetapi Syaikh Taqiyyuddin
tetap tidak menjawabnya.
Maka
Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepada beliau,”Apakah kamu
akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan lindungi, dan
apakah kamu juga akan memusuhi orang yang kami musuhi ?”
Lalu,
Syaikh Taqiyyuddin berkata kepada dirinya sendiri,”Kalau aku lemah
untuk mengucapkan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku ucapkan
kepada orang-orang sesudahku nanti ?”
Kemudian
Syaikh Taqiyyuddin bangkit dari duduknya seraya berkata,”Aku berjanji
kepada Allah, bahwa aku akan menolong dan melindungi (agama) Allah dan
akan memusuhi orang yang memusuhi (agama) Allah. Dan aku amat membenci
sikap nifaq dan orang-orang munafik !”
Maka
marahlah Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga dia lalu
mengeluarkan perintah untuk mengusir Syaikh Taqiyyuddin dari majelis
tersebut dan menangkap beliau. Dan kemudian Syaikh Taqiyyuddin
benar-benar ditangkap ! Namun kemudian Raja Abdullah menerima permintaan
maaf dari beberapa ulama atas sikap Syaikh Taqiyyuddin tersebut lalu
memerintahkan pembebasannya, sehingga Syaikh Taqiyyuddin tidak sempat
bermalam di tahanan.
Beliau
lalu kembali ke Al Quds dan sebagai akibat kejadian tadi, beliau
mengajukan pengunduran diri dan menyatakan ,”Sesungguhnya orang-orang
seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas
pemerintahan apa pun.”
Syaikh
Taqiyyuddin kemudian mengajukan pencalonan dirinya untuk menduduki
Majelis Perwakilan. Namun karena sikap-sikapnya yang menyulitkan,
aktivitas politik dan upayanya yang sungguh-sungguh untuk membentuk
sebuah partai politik, dan keteguhannya berpegang kepada agama, maka
akhirnya hasil pemilu menunjukkan bahwa Syaikh Taqiyyuddin dianggap
tidak layak untuk duduk dalam Majelis Perwakilan.
Namun
demikian, aktivitas politik Syaikh Taqiyyuddin tidaklah mandeg dan
tekadnya pun tiada pernah luntur. Beliau terus mengadakan kontak-kontak
dan diskusi-diskusi, sehingga akhirnya beliau berhasil meyakinkan
sejumlah ulama dan qadly terkemuka serta para tokoh politikus dan
pemikir untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam.
Beliau
lalu menyodorkan kepada mereka kerangka organisasi partai dan
pemikiran-pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi
partai tersebut. Ternyata, pemikiran-pemikiran beliau ini dapat diterima
dan disetujui oleh para ulama tersebut. Maka aktivitas beliau pun
menjadi semakin padat dengan terbentuknya Hizbut Tahrir.
Publikasi
pembentukan partai ini secara resmi tersiar tahun 1953, pada saat
Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani mengajukan permohonan resmi kepada
Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang
diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar
Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya. Dalam surat itu
terdapat pula struktur kepengurusan Hizbut Tahrir dengan susunan
sebagai berikut :
No : ND/70/52/916
Tanggal : 14 Maret 1953
Kepada Yang Terhormat :
Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani
dan seluruh pendiri Hizbut Tahrir
Saya telah meneliti berita yang dilansir oleh surat kabar Ash Sharih edisi hari ini yang berjudul : “Organisasi Pembebasan (Hai’atut Tahrir) : Pembentukan Partai Politik Secara Resmi di Al Quds.”
Saya berharap dapat memberi pengertian kepada Anda sekalian, bahwa apa yang dilansir mengenai pembentukan partai secara resmi di Al Quds itu, ternyata tidak dapat dibenarkan. Selain itu, kami beritahukan bahwa surat balasan yang Anda terima dari Kepala Kantor saya, menjelaskan bahwa permohonan Anda telah sampai kepada saya. Bahwasanya, Undang-Undang Dasar yang ada tidak mengizinkan aktivitas Anda sekalian. Hal itu karena izin dan pengakuan pembentukan partai, tergantung kepada kepentingan negara –seperti yang saya sampaikan melalui beberapa catatan yang dikirimkan kepada Anda sekalian– yang ternyata tidak mengizinkan adanya pendirian partai.
Atas Nama Departemen Dalam Negeri,
Ali Hasanah
Atas dasar surat ini, pihak kepolisian segera menyerbu rumah yang disewa Hizb tadi dan mencabut papan nama yang ada di sana. Hizb lalu dilarang untuk melakukan kegiatan apa pun. Sejak saat itu –dan bahkan sampai saat ini– Hizb tidak dibolehkan melakukan aktivitas dan segala aktivitasnya pun dilarang.
Namun demikian, Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani sama sekali tidak peduli dan tak menggubris semua itu, bahkan beliau tetap bersiteguh untuk melanjutkan misinya menyebarkan risalah yang telah beliau tetapkan sebagai asas-asas bagi Hizb. Beliau memang sangat menaruh harapannya untuk membangkitkan umat Islam pada Hizbut Tahrir, gerakan yang telah beliau dirikan dan beliau tetapkan falsafahnya dengan karakter-karakter tertentu yang beliau gali dari nash-nash syara’ dan sirah Nabi saw.
Oleh karena itu, Syaikh Taqiyyuddin kemudian menjalankan aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizb, di mana beliau sendiri yang menjadi pucuk pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Beliau terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizb ini sampai wafatnya beliau pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M. Sepanjang masa kepemimpinan beliau, beliau telah melakukan berbagai kegiatan politik yang luas. Hasil yang paling gemilang, ialah beliau mewariskan kepada kita sebuah partai politik yang bermutu tinggi, kuat, dan tersebar luas.
Semua upaya beliau ini telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai partai dengan kekuatan Islam yang luar biasa, sehingga Hizb sangatlah diperhitungkan dan disegani oleh seluruh pemikir dan politikus, baik yang bertaraf regional maupun internasional, kendatipun Hizb tetap tergolong partai terlarang di seluruh negeri di dunia.
Di bawah kepemimpinan beliau, Hizbut Tahrir telah melancarkan beberapa upaya pengambil-alihan kekuasaan di banyak negeri-negeri Arab, seperti di Yordania pada tahun 1969, di Mesir tahun 1973, dan di Iraq tahun 1972. Juga di Tunisia, Aljazair, dan Sudan. Sebagian upaya ini diumumkan secara resmi oleh media massa, sedang sebagian lainnya memang sengaja tidak diumumkan.
Selain itu, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan banyak selebaran (nasyrah) politik yang penting, yang membeberkan berbagai persekongkolan jahat untuk melawan umat Islam. Hizb juga banyak mengirimkan memorandum politik penting kepada para politikus dan penguasa di negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan maksud agar mereka mundur dari pemerintahan dan menyerahkannya kepada Hizb. Atau dengan maksud memberi nasehat dan peringatan atas tindakan-tindakan mereka yang dianggap sebagai tindak pengkhianatan. Atau dengan maksud mengancam mereka bahwa umat suatu saat akan mengoreksi dan memperhitungkan tindakan-tindakan mereka.
Walhasil, aktivitas politik merupakan aspek paling menonjol dalam kehidupan Syaikh Taqiyyuddin. Bahkan sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa beliau adalah Hizbut Tahrir itu sendiri, karena kemampuan beliau yang tinggi untuk melakukan analisis politik, sebagaimana yang nampak dalam kecermatan selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizb. Beliau juga banyak menelaah peristiwa-peristiwa politik, lalu mendalaminya dengan amat cermat, disertai pemahaman sempurna terhadap situasi-situasi politik dan ide-ide politik yang ada.
Maka, mereka yang mencermati selebaran-selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizb, juga kitab-kitab mengenai politik yang ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin, serta garis-garis besar langkah politik yang beliau susun untuk membina pemikiran politik syabab Hizb, akan dapat menyimpulkan bahwa Syaikh Taqiyyuddin memang benar-benar mempunyai kemampuan luar biasa dalam masalah politik. Sungguh, beliau termasuk salah seorang pemikir dan politikus terulung pada abad XX ini.
Karya-karya Beliau
Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani wafat tahun 1398 H/ 1977 M dan dikuburkan di Pekuburan Al Auza’i di Beirut. Beliau telah meninggalkan kitab-kitab penting yang dapat dianggap sebagai kekayaan pemikiran yang tak ternilai harganya. Karya-karya ini menunjukkan bahwa Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani merupakan seorang yang mempunyai pemikiran brilian dan analisis yang cermat. Beliaulah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizb, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara’, maupun yang lainnya seperti masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial. Inilah yang mendorong sebagian peneliti untuk mengatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah Taqiyyuddin An Nabhani.
Kebanyakan karya Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani berupa kitab-kitab tanzhiriyah (penetapan pemahaman/pandangan) dan tanzhimiyah (penetapan peraturan), atau kitab-kitab yang dimaksudkan untuk mengajak kaum muslimin untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan Daulah Islamiyah. Al Ustadz Dawud Hamdan telah menjelaskan karakter kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin –yang termasuk kitab-kitab yang disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir– secara mendalam dan tepat dengan pernyataannya :
“Sesungguhnya kitab ini –yakni kitab Ad Daulah Al Islamiyyah– bukanlah sebuah kitab untuk sekedar dipelajari, akan tetapi kitab ini dan kitab lainnya yang telah disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir –seperti kitab Usus An Nahdlah, Nizhamul Islam, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, An Nizham Al Iqthishady fi Al Islam, Nizham Al Hukm, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah, At Takattul Al Hizbi, Mafahim Hizhut Tahrir, Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir– menurut saya adalah kitab yang dimaksudkan untuk membangkitkan kaum muslimin dengan jalan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islamiyah.”
Oleh karena itu, kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin terlihat istimewa karena mencakup dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan problematika manusia. Kitab-kitab yang membahas aspek-aspek kehidupan individu, politik, kenegaraan, sosial, dan ekonomi tersebut, merupakan landasan ideologis dan politis bagi Hizbut Tahrir, di mana Syaikh Taqiyyuddin menjadi motornya.
Karena beraneka ragamnya bidang kajian dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin, maka tak aneh bila karya-karya beliau mencapai lebih dari 30 kitab. Ini belum termasuk memorandum-memorandum politik yang beliau tuliuntuk memecahkan problematika-problematika politik. Belum lagi banyak selebaran-selebaran dan penjelasan-penjelasan mengenai masalah-masalah pemikiran dan politik yang penting.
Karya-karya Syaikh Taqiyyuddin, baik yang berkenaan dengan politik maupun pemikiran, dicirikan dengan adanya kesadaran, kecermatan, dan kejelasan, serta sangat sistematis, sehingga beliau dapat menampilkan Islam sebagai ideologi yang sempurna dan komprehensif yang diistimbath dari dalil-dalil syar’i yang terkandung dalam Al Kitab dan As Sunnah.
Karya-karya beliau dapat dikatakan sebagai buah usaha keras pertama yang disajikan oleh seorang pemikir muslim pada era moderen ini di dalam jenisnya.
Karya-karya Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani yang paling terkenal, yang memuat pemikiran dan ijtihad beliau antara lain :
- Nizhamul Islam.
- At Takattul Al Hizbi.
- Mahafim Hizbut Tahrir
- An Nizhamul Iqthishadi fil Islam.
- An Nizhamul Ijtima’i fil Islam.
- Nizhamul Hukm fil Islam.
- Ad Dustur.
- Muqaddimah Dustur.
- Ad Daulatul Islamiyah.
- Asy Syakhshiyah Al Islamiyah (3 jilid).
- Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
- Nazharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
- Nida’ Haar.
- Al Khilafah.
- At Tafkir.
- Ad Dusiyah.
- Sur’atul Badihah.
- Nuqthatul Inthilaq.
- Dukhulul Mujtama’.
- Inqadzu Filisthin.
- Risalatul Arab.
- Tasalluh Mishr.
- Al Ittifaqiyyah Ats Tsana’iyyah Al Mishriyyah As Suriyyah wal Yamaniyyah
- Hallu Qadliyah Filisthin ala Ath Thariqah Al Amrikiyyah wal Inkiliziyyah.
- Nazhariyatul Firagh As Siyasi Haula Masyru’ Aizanhawar. Semua ini belum termasuk ribuan selebaran-selebaran (nasyrah) mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir –dengan maksud agar kitab-kitab itu mudah beliau sebarluaskan– setelah adanya undang-undang yang melarang peredaran kitab-kitab karya Syaikh Taqiyyuddin. Di antara kitab itu adalah :
- As Siyasah Al Iqthishadiyah Al Mutsla.
- Naqdlul Isytirakiyah Al Marksiyah.
- Kaifa Hudimat Al Khilafah.
- Ahkamul Bayyinat.
- Nizhamul Uqubat.
- Ahkamush Shalat.
- Al Fikru Al Islami.
Namun perlu diingat di sini bahwa ushul fiqih Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani tidaklah keluar dari metode fiqih Sunni, yang membatasi dalil-dalil syar’i pada Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas Syar’iy, yakni Qiyas yang illat-nya terdapat dalam nash-nash syara’ semata. [] ——————————————————————————–
(Diterjemahkan dari kitab Mafhum Al Adalah al Ijtima’iyah fi Al Fikri Al Islami Al Mu’ashir, karya Ihsan Samarah, Dar An Nahdlah Al Islamiyah, Beirut, cetakan II, 1991, halaman 140-151, dan hal. 266-267)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra bahwa Nabi saw bersabda : “Tidak ada hasad (rasa iri hati) yang dibenarkan kecuali kepada dua golongan ; seseorang yang dikaruniai Allah pemahaman tentang Al Qur’an, lalu dia mengamalkannya pada malam dan siang hari, dan seseorang yang dikaruniai Allah harta benda, lalu dia nafkahkan (di jalan Allah) pada malam dan siang hari.” (Muttafaq ‘alaih)
0 komentar:
Posting Komentar