Sosok dan pemikiran Al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filosof Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam. Sehingga, bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh besar terhadap dunia Barat.
”Ilmu Logika Al-Farabi memiliki
pengaruh yang besar bagi para pemikir Eropa,” ujar Carra de Vaux. Tak
heran, bila para intelektual merasa berutang budi kepada Al-Farabi atas
ilmu pengetahuan yang telah dihasilkannya. Pemikiran sang mahaguru kedua
itu juga begitu kental mempengaruhi pikiran-pikiran Ibnu Sina dan Ibnu
Rush.
Al-Farabi atau Barat mengenalnya
dengan sebutan Alpharabius memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn
al-Farakh al-Farabi. Tak seperti Ibnu Khaldun yang sempat menulis
autobiografi, Al-Farabi tidak menulis autobiografi dirinya.
Tak ada pula sahabatnya yang
mengabadikan latar belakang hidup sang legenda itu, sebagaimana
Al-Juzjani mencatat jejak perjalanan hidup gurunya Ibnu Sina.Tak heran,
bila muncul beragam versi mengenai asal-muasal Al-Farabi. Ahli sejarah
Arab pada abad pertengahan, Ibnu Abi Osaybe’a, menyebutkan bahwa ayah
Al-Farabi berasal dari Persia. Mohammad Ibnu Mahmud Al-Sahruzi juga
menyatakan Al-Farabi berasal dari sebuah keluarga Persia. Namun, menurut
Ibn Al-Nadim, Al-Farabi berasal dari Faryab di Khurasan.
Faryab adalah nama sebuah
provinsi di Afganistan. Keterangan itu diperoleh oleh Al-Nadim dari
temannya bernama Yahya ibn Adi yang dikenal sebagai murid terdekat
Al-Farabi. Sejumlah ahli sejarah dari Barat, salah satunya Peter J King
juga menyatakan Al-Farabi berasal dari Persia.
Berbeda dengan pendapat para
ahli di atas, ahli sejarah abad pertengahan, Ibnu Khallekan, mengklaim
bahwa Al-Farabi lahir di sebuah desa kecil bernama Wasij di dekat Farab (
sekarang Otrar berada di Kazakhstan). Konon, ayahnya berasal dari
Turki. Menurut Encyclopaedia Britannica, Al-Farabi juga berasal dari
Turki atau Turki Seljuk.
Konon, Al-Farabi lahir sekitar
tahun 870 M. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di Farab. Di kota yang
didominasi pengikut mazhab Syafi’iyah itulah Al-Farabi menempuh
pendidikan dasarnya. Sejak belia, Al-Farabi sudah dikenal berotak encer
alias sangat cerdas. Ia juga memiliki bakat yang begitu besar untuk
menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.
Setelah menyelesaikan studi
dasarnya, Al-Farabi hijrah ke Bukhara untuk mempelajari ilmu fikih dan
ilmu-ilmu lainnya. Ketika itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat
intelektual serta religius Dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya
sebagai bangsa Persia.Saat itu Bukhara dipimpin Nashr ibn Ahmad
(874-892). Pada masa itulah Al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan
budaya serta filsafat Persia. Di kota lautan pengetahuan itu pula
Al-Farabi muda mengenal dan mempelajari musik. 936. Dia sempat menjadi
seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhi-nya, Al-Farabi hijrah ke
Merv untuk mendalami logika Aristotelian serta filsafat. Guru utama
filsafatnya adalah Yuhanna ibn Hailan, seorang Kristen. Dari Ibnu
Hailan-lah dia mulai bisa membaca teks-teks dasar logika Aristotelian,
termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang
Muslim pun sebelumnya.
Beberapa tahun sebelum
kitab-kitab Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Al-Farabi
telah menguasai bahasa Syria dan Yunani. Pada 901 M, bersama sang guru,
Al-Farabi dia mengembara ke Baghdad yang saat itu menjadi kota
metropolis intelektual pada abad pertengahan. Ketika kekhalifahan
Al-Muqtadir (908-932), berkuasa, Al-Farabi sempat pula pergi ke
Konstantinopel untuk memperdalam filsafat dan singgah di Harran.
Ketika 910-920 M, Al-Farabi
kembali ke Baghdad. Di negeri 1001 malam itu, dia terus mengembangkan
ketertarikannya untuk menggali dan mempelajari alam semesta dan manusia.
Ketertarikannya pada dua hal itu membuatnya tertarik untuk menggali
filsafat kuno terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Dengan otaknya
yang cemerlang, Al-Farabi membuat terobosan untuk menggabungkan filsafat
Platonik dan Aristotelian dengan pengetahuan mengenai Alquran serta
beragam ilmu lainnya. Beruntung Al-Farabi bisa menimba ilmu dari
sejumlah guru yang mumpuni. Ia belajar filsafat Aristoteles dan logika
langsung dari seorang filosof termasyhur Abu Bishr Matta ibnu Yunus
Dalam waktu yang tak terlalu
lama, kecemerlangan pemikiran Al-Farabi mampu mengatasi reputasi gurunya
dalam bidang logika. Sedangkan tata bahasa Arab di pelajarinya dari
seorang pakar tata bahasa dan linguistik kondang bernama Abu Bakr ibn
Saraj. Selain menguasai filsafat dan bahasa, Al-Farabi juga dikenal
sebagai ilmuwan yang berjasa dan memberi kontribusi dalam berbagai
bidang ilmu seperti, aritmatika, fisika, kimia, medis, astronomi, dan
musik. Akhir tahun 942 M, hengkang dari Baghdad ke Damaskus, karena
situasi politik yang memburuk. Selama dua tahun tinggal di Damaskus,
pada siang hari Al-Farabi bekerja sebagai penjaga kebun. Sedangkan pada
malam hari dia membaca dan menulis karya-karya filsafat. Ia sempat pula
hijrah ke Mesir dan lalu kembali lagi ke Damaskus pada 949 M.
Ketika tinggal di Damaskus untuk
yang kedua kalinya, Al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota
penguasa baru Siria, Saif al-Daulah. Saif al-Daulah sangat terkesan
dengan Al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat
musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Ratusan kitab telah
dihasilkan Al-Farabi. Kehidupan sufi yang dijalaninya membuatnya tetap
hidup sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir
filsafatnya. Ia tutup usia di Damaskus pada 970 M. Amir Sayf ad-Dawla
kemudian membawa jenazahnya dan menguburkannya di Damaskus. Ia
dimakamkan di pemakaman Bab as-Saghir yang terletak di dekat makam
Muawiyah, yang merupakan pendiri dinasti Ummayah.
sumber:
http://delsajoesafira.blogspot.co.id/2010/04/sejarah-singkat-al-farabi.html
sumber:
http://delsajoesafira.blogspot.co.id/2010/04/sejarah-singkat-al-farabi.html