Hasan al-Rammah (lahir di Suriah 1294-1295) adalah seorang Kimiawan dan
insinyur Suriah. Ia merupakan Kimiawan Muslim yang pertama kali berhasil
membuat bahan peledak modern / roket peledak. Dalam bukunya berjudul
Al-Furusiyyah wa Al-Manasib Al-Harbiyyah (Buku milter menunggang kuda dan Alat Perang Cerdik ) ia berhasail menulis sebanyak 107 rumus atau resep penggunaan mesiu. Dia juga berhasil membuat dan mendesain torpedo.
Hasan Al-Rammah memang sungguh luar biasa. Pengetahuannya
tentang bubuk mesiu sungguh sangat mengagumkan. Sebanyak 22 resep mesiu yang diraciknya khusus digunakan untuk
roket. Menurut Al-Rammah, komposisi bahan untuk meluncurkan sebuah roket
terdiri dari 75 persen potasium nitrat, 9,06 persen sulfur dan 15,94
persennya karbon. Perhitungan yang dilakukan Al-rammah pada abad ke-13 M
itu sudah mampu mendekati komposisi ideal, yakni 75 persen potasium
nitrat, 10 persen sulfur, dan 15 persen karbon.
Sisa rumus atau komposisi racikan mesiu lainnya yang dibuat
Al-Rammah untuk kepentingan militer dan sisanya untuk membuat mercon. Ia
menulis buku yang penting dan mengguncangkan itu antara tahun 1270 M
hingga 1280 M. buku tersebut secara khusus ditulis atas permintaan
seorang guru yang terkenal bernama Najm al-Din Hasan Al-Rammah.
Para sejarawan berpendapat, begitu banyaknya jumlah rumus
penggunaan mesiu untuk beragam tipe persenjataan mengindikasikan bahwa
Al-rammah tak menemukannya seorang diri. Dalam lembar pertama bukunya,
Al-Rammah menyebut pengetahuan yang ditulisnya sebagai warisan
pengetahuan. Bisa jadi semua pengetahuannya itu menurun dari sang kakek.
Sebab, pada akhir abad ke-12 M atau awal abad ke-13 M bubuk mesiu
sudah dikenal di Suriah dan Mesir. Pencapaian Al-Rammah itu mendapat
pengakuan dari peradaban Barat. Johnson mengatakan, dunia Islam
merupakan peradaban yang pertama kali kali mengembangkan senjata yang
sesungguhnya. Ia juga mampu menjelaskan saltpetre melalui proses kimia dan kristalisasi.
Al-Rammah juga tercatat sebagai seorang insinyur Muslim pertama yang mencetuskan dan menjelaskan tentang torpedo pada 1270 M. dalam bukunya, ia juga menggambarkan sebuah torpedo melesat dengan sebuah sistem roket yang diisi dengan bahan peledak dan memiliki tiga titik api.
Al-Rammah memang bukanlah ilmuwan Muslim pertama yang mengenal potasium nitrat. Insinyur Muslim sebelumnya seperti Al-Razi, Al-Hamdani, dan risalah berbahasa Arab-Suriah pada abad ke-10 M itu sudah menjelaskan tentang potasium nitrat dan rumus-rumus tentang mesiu. Ibnu Al-Baitar juga telah mengungkapkan tentang potasium nitrat pada tahun 1240 M.
Peradaban Barat mengklaim bahwa Roger Bacon sebagai orang pertama
yang menemukan mesiu. Namun ternyata, penemuan Bacon yang
dibangga-banggakan Barat itu merupakan hasil jiplakan dari buku-buku
kimia yang berasal dari Arab. Tak heran, jika para sejarawan meragukan
kebenaran dan efektivitas rumus yang dihasilkan Bacon.
Ilmuwan Jerman, Albert Magnus juga menguasai mesiu dari ‘Liber Ignium’. Ternyata buku itu berasal dari terjemahan dari kitab bahasa Arab ke bahasa Spanyol.
Menguasai
teknologi persenjataan merupakan salah satu faktor yang membuat
Kekhalifahan Islam di masa kejayaan menjadi begitu tangguh. Selain
mumpuni dalam seni pembuatan pedang, dunia Islam pun mampu menggenggam
teknologi pembuatan bubuk mesiu – bahan peledak yang digunakan untuk
meriam. Sesuatu yang baru diketahui peradaban Barat pada abad ke-14 M.
Meski sejumlah pakar bersepakat bahwa mesiu (gunpowder) pertama
kali ditemukan peradaban Cina pada abad ke-9 M. Namun, fakta sejarah
juga menyebutkan bahwa ahli kimia Muslim bernama Khalid bin Yazid (wafat
tahun 709 M) sudah mengenal potassium nitrat (KNO3) bahan utama pembuat
mesiu pada abad ke-7 M. Dua abad lebih cepat dari Cina.
”Rumus dan resepnya dapat ditemukan dalam karya-karya Jabir Ibnu
Hayyan (wafat tahun 815 M), Abu Bakar Al-Razi (wafat tahun 932) dan ahli
kimia Muslim lainnya,” papar Prof Al-Hassan. Dari abad ke abad, istilah
potasium nitrat di dunia Islam selalu tampil dengan beragam nama
seperti natrun, buraq, milh al-ha’it, shabb Yamani, serta nama lainnya.
Salah satu kelebihan peradaban Islam dibandingkan Cina dalam
penguasaan teknologi pembuatan mesium adalah proses pemurnian potasium
nitrat. Sebelum bisa digunakan secara efektif sebagai bahan utama
pembuatan mesiu, papar Al-Hassan, potasium nitrat harus dimurnikan
terlebih dahulu.
Ada dua proses pemurnian potasium nitrat yang tercantum dalam
naskah berbahasa Arab. Proses pemurnian yang pertama dicetuskan Ibnu
Bakhtawaih pada awal abad ke-11 M. Dalam kitab yang ditulisnya berjudul
Al-Muqaddimat yang disusun pada tahun 402 H/1029 M, Ibnu Bakhtawaih
menjelaskan tentang pembekuan air dengan menggunakan potasium nitrat –
yang disebut sebagai shabb Yamani.
Proses pemurnian potasium nitrat juga termaktub dalam buku berjudul
Al-Furusiyyah wa Al-Manasib Al-Harbiyyah karya Hasan Al-Rammah –
ilmuwan Muslim pada abad ke-13 M. Dalam karyanya itu, Al-Rammah
menjelaskan proses pemurnian potasium nitrat secara komplet. “Prosesnya
purifikasi yang disusun Al-Rammah menjadi standar baku yang dapat kita
temuka dalam beragaman risalah kemiliteran,” imbuh Prof Al-Hassan.
Al-Rammah menjelaskan secara rinci dan jelas tentang proses
pemurnian potasium nitrat. Metode pembuatan potasium nitrat ini kerap
diklaim peradaban Barat sebagai temuan Roger Bacon. Namun klaim itu
dipatahkan sendiri oleh ilmuwan barat bernama Partington. “Proses
pembuatan saltpetre – nama lain potasium nitrat – pertama kali diketahui
dari Hasan Al-Rammah.
Prof Al-Hassan menemukan fakta bahwa potasium nitrat begitu banyak
digunakan pada saat meletusnya Perang Salib. Pada tahun 1249 M, Raja
Louis IX dari Prancis mengobarkan Perang Salib VII. Pasukan tentara
Perang salib dari Prancis berniat menyerbu Mesir. Dalam Pertempuran
Al-Mansurah yang meletus tahun 1250 M, pasukan tentara Salib dibuat
kocar-kacir oleh pasukan Muslim.
Bahkan, Raja Louis IX pun takluk dan ditahan karena tak mampu
menghadapi kehebatan mnocong meriam dan roket. Pada saat itu, pasukan
Muslim sudah menggunakan bubuk mesiu sebagai bahan peledak meriam. Jean
de Joinville, salah seorang perwira tentara Perang Salib, menjelaskan
dengan betapa hebatnya dampak proyektil yang ditembakkan meriam tentara
Muslim terhadap pasukan tentara Prancis.
Kalangan sejarawan menafsirkan kesaksian Joinville itu. Menurut
para sejarawan, proyektil yang dijelaskan Joinville itu pastilah
mengandung bubuk mesiu. Kehebatannya mampu membuat kocar-kacir pasukan
tentara Salib. Lembaga Ruang Angkasa Amerika Serikat (NASA) dalam
publikasinya mengenai sejarah roket juga mengakui teknologi militer
dunia Islam di abad ke-13 M.
“Pasukan tentara Muslim melengkapi persenjataannya dengan roket
yang ditemukannya sendiri. Saat Perang Salib VII mereka menggunakannya
untuk melawan pasukan Prancis yang dipimpin Raja Louis IX.” Dua
dasawarsa berikutnya Raja Louis mencoba kembali menyerang Tunisia.
Namun, dendamnya itu justru berakhir dengan kematian baginya.
Pasukan Muslim dibawah kekuasaan Dinasti Mamluk dengan mesiu dan
senjatanya kembali membuat kocar-kacir tentara Salib. Sejarawan Inggris,
Steven Runciman dalam bukunya A History of the Crusades menuturkan
bahwa mesiu digunakan secara besar-besaran pada 1291 M di akhir Perang
Salib.
Sejak itu, persenjataan militer menggunakan mesiu secara
besar-besaran Pada tahun 1453 M, Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki
juga mampu menaklukkan kepongahan Konstantinopel dengan mesiu dan meriam
raksasa. Dalam empat risalah berbahasa Arab disebutkan pada perang Ayn
Jalut di Palestina pada tahun 1260 M antara tentara Islam sudah
menggunakan meriam kecil yang bisa dijinjing saat bertempur melawan
Mongol.
Meriam dan mesiu digunakan dalam peperang di abad pertengahan untuk
menakuti kuda-kuda dan pasukan kavaleri musuh. Selain menggunakan mesiu
untuk persenjataan, pada era itu juga digunakan untuk membuat mercon.
Dinasti Mamluk dalam perayaan-perayaan di abad ke-14 M, dilaporkan biasa
menampilkan atraksi petasan. Istilah petasan sudah disebutkan dalam
harraqat al-naft or harraqat al-barud.
Seorang penjelajah asal Prancis bernama Bertrandon de la Brocquiere
terperangah melihat pertunjukan petasan ketika tiba di Beirut pada
tahun 1432 M. Saat itu, penduduk Beirut tengah bersuka cita merayakan
hari Idul Fitri. Brocquiere mengaku baru pertama kali melihat
pertunjukan mercon. Pada era itu bangsa Prancis belum mengenal dan
melihat mercon.
Pada waktu itula, Brocquiere kemudian mencoba mempelajari rumus dan
resep rahasia pembuatan mercon. Ia lalu membawa rumus-rumus yang
diperolehnya ke Prancis. Sementara itu, untuk pertama kalinya mercon
dikenal di Inggris pada tahun 1486 M ketika Henry VII menikah. Sejak era
kekuasaan Ratu Elizabeth I, mercon dan kembang api mulai populer.
Sejak abad ke-13 M, peradaban Islam sudah mampu menyusun rumus dan
komposisi mesiu serta bahan lainnya yang digunakan untuk membuat
berbagai jenis bahan peledak. Peradaban Barat lalu meniru dan
menggunakan teknologi yang dimiliki dan dikuasai umat Islam di era
keemasan itu.
Meski berutang kepada peradaban Islam, pencapain sangat tinggi yang
diraih umat Islam dalam teknologi pembuatan mesiu dan meriam kerap kali
dihilangkan para sejarawan Barat. Sejarah Barat selalu menyebutkan
sejarah mesiu dari Cina langsung ke Barat, tanpa menyebut pencapaian di
dunia Islam.[jhu]
sumber:
Sip
BalasHapusSip
BalasHapus